Jumat, 01 Januari 2016

Sejarah Lahirnya Tasawuf



BAB I
PENDAHULUAN

A.                LATAR BELAKANG
Tasawuf adalah cabang ilmu dalam Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam. Spiritualitas ini dapat mengambil  bentuk yang beraneka ragam di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih mengedepankan aspek rohaninya dari pada aspek jasmaninya. Dalam kaitannya dengan kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dnia yang fana, sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ia lebih menekankan aspek esoterik dari pada eksoterik, lebih menekankan penafsiran bathini dari pada penafsiran lahiriyah.
Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan jiwa). Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri).
Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap langkah perbuatannya. Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama lainnya.
Tasawuf pada mulanya adalah bagian dari ajaran zuhd dalam islam. Yaitu lebih berkonsentrasi dalam pendekatan diri kepada Allah SWT dengan ketaatan dan ibadah. Semakin jauh dari zaman Rasul SAW semakin banyak aliran-aliran tasawuf berkembang. Dari perbedaan tatacara yang digunakan oleh masing-masing aliran itu tasawuf menjadi istilah yang terpisah dari ajaran zuhud. Karena tasawuf telah menjadi aliran yang memiliki makna khusus sebab kekhususan praktek ajaran yang ditempuhnya.
Ada tiga unsur dalam diri manusia yaitu: ruh, akal, dan jasad. Kemulian manusia dibanding dengan makhluk lainnya adalah karena manusia memiliki unsur ruh ilahi. Ruh yang dinisbahkan kepada Allah. SWT. Ruh Ilahi inilah yang menjadikan manusia memiliki sisi kehidupan rohani yang dapat diistilahkan dengan makna tasawuf. Dimana kecondongan ini juga dimiliki oleh semua manusia dalam setiap agama. Karena perasaan itu merupakan fitrah manusia. Secara umum dapat juga kita ibaratkan makna tasawuf dengan filsafat kehidupan dan metode khusus sebagai jalan manusia untuk mencapai akhlak sempurna, menyingkap hakikat dan kebahagiaan jiwa. Adapun inti dari tasawuf sendiri ialah tekun beribadah, menjauhi kemewahan dunia dan mengasingkan diri dari manusia untuk beribadah sebagaimana para sahabat dan ulama terdahulu melakukannya. Nabi SAW sendiri secara sufistic telah memiliki prilaku sufi sejak dalam kehidupannya, seperti dalam perilaku atau pribadi beliau, peristiwa dalam hidup, ibadah. Sebelum menjadi Rasul, beliau sering berkholwat di gua hira dengan berdzikir, bertafakur untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai sejarah perkembangan tasawuf dari awal kelahirannya hingga sampai di Indonesia. Antara lain; Pengertian tasawuf, tujuan tasawuf, dasar-dasar tasawuf, tujuan tasawuf, sejarah perkembangan tasawuf dari kelahirannya, perkembangan di dunia Islam dan perkembangannya di Indonesia. Di dalamnya disertai dengan nama-nanma tokoh yang dihsilkan pada tiap-tiap fase perkembangan tasawuf. Dari pembahasan pemakalah, kami sadari masih banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu, kapada para pembaca sangat diharapkan sumbangan pemikirannya demi tersempurnakannya makalah ini lebih baik lagi.
B.                SUB MASALAH
1.      Apa Defenisi atau Pengertian Tasawuf
2.      Apa saja Dasar-dasar yang digunakan Tasawuf
3.      Tujuan tasawuf
4.      Sejarah perkembangan tasawuf
5.      Perkembangan tasawuf di indonesia
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF

A.              PENGERTIAN TASAWUF  
Secara lughat, tasawuf berasal dari bermacam-macam kata. Apabila kita perhatikan dari bahasa arab, maka kata tasawuf berasal dari tasrif: tasawwaf-yatasawwafu-tasawwufan. Misalnya, tasawwafar-rajulu, artinya “seorang laki-laki sedang bertasawuf”.[1]
Di lihat dari aspek bahasa, tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap dan jiwa yang demikian itu pada hakikatnya merupakan akhlak mulia.    
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendifinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus  berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.       
                        Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.[2]
1.        Dasar-Dasar Tasawuf  
a.      Dasar Al-Quran  
            Dalam hal ini, tasawuf pada awal pembentukannya adalah manifestasi akhlak atau keagamaan. Moral keagamaan ini banyak disinggung dalam al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian, sumber pertama tasawuf adalah ajaran-ajaran islam, sebab tasawuf ditimba dari al-quran dan as-sunnah, dan amalan-amalan serta ucapan para sahabat tentu saja tidak keluar dari ruang lingkup Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan begitu, justru dua sumber utama tasawuf adalah adalah al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri.
Di dalam al-Qur’an banyak ditemui ayat-ayat yang mendorong manusia memikirkan alam raya ini, dengan berpikir akan nampak keindahannya dan keindahan pencipta dan dengan demikian akan tumbuh rasa cinta yang mendalam terhadap pencipta. Di antaranya dalam firman Allah:
إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لأيات لأولى الألباب
Artinya, “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal ”(S. Ali Imran 190).
Demikian juga sekian banyak ayat yang memberikan contoh akhlak mulia dan akhlak yang buruk, melalui cerita umat-umat yang lampau, atau melalui larangan dan perintah. Demikian pula manusia selalu didorong beramal saleh dan mengendalikan nafsu keinginannya dan dalam kemampuan mengendalikan nafsu keinginan terletak keberuntungan hidup. Allah berfirman:
ونفس وما سواها فألهمها فجورها وتقواها قد أفلح من ذكاها وقد خاب من دساها
Artinya “Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (S. Asy-Syams 7-10)
Contoh kehidupan shufi banyak pula ditemui dalam kehidupan Rasulullah sehari-hari, yang penuh dengan penderitaan dan waktunya dihabiskan untuk beribadah dan berbakti kepada manusia. Sebelum ia diangkat menjadi Rasul, ia sering melakukan tahannus (khalwat) di gua Hira di Jabal Nur untuk memohon petunjuk. Usman bin Affan meskipun termasuk orang yang kaya yang mendapat kelapangan rezeki dari Allah, namun dalam kehidupannya sehari-hari juga sangat sederhana. Di kala ia berada di rumah, kitab suci al-Qur’an selalu di tangannya, pada malam hari ia selalu menelaah isi al-Qur’an dan kadang kala sampai larut malam dan ketika ia tewas dibunuh oleh para pemberontak al-Qur’an masih berada di tangannya. Karena itu, orang shufi berpendapat ada hal-hal yang perlu disembunyikan sebagai rahasia dalam ilmu tasawuf dan ajaran-ajaran yang seperti itu tidak boleh dibeberkan kepada orang lain kecuali kepada orang yang dianggap layak menerimanya. Mereka berlandaskan ucapan Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari yang katanya: “Aku peroleh dari Rasulullah dua bejana ilmu pengetahuan, satu di antaranya yang kusampaikan kepada orang lain, dan yang satu lagi tidak kusampaikan dan kalau kusampaikan juga niscaya leherku akan dipenggal”.  
b.      Dasar Hadits   
Sejalan dengan apa yang telah disitir dalam al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan di atas, ternyata tasawuf juga dilihat dalam kerangka hadits.[3] Umumnya yang dinyatakan sebagai landasan ajaran tasawuf adalah hadits berikut: 
من عرف نفسه فقد عرف ربه 
Artinya: “Barang sisapa yang mengenali dirinya, niscaaya ia    akan mengenai Tuhannya” (Al- Hadits).

B.              Tujuan Tasawuf
                   Ilmu tasawuf itu adalah tuntunan yang dapat membawa manusia kepada mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya, yaitu marifat. Ma’rifat ini adalah merupakan jalan atau tarekat yang terbaik dengan akhlak yang seindah-indahnya dan jauh lebih baik dari hikmah lahiriyah semata. Maka dari itu,tujuan dari tasawuf itu tiada lain adalah membawa manusia setingkat demi setingkat menuju lebih dekat kepada Tuhannnya.[4]
C.      Sejarah Pekembangan Tasawuf
  1. Kelahiran Tasawuf
Kelahiran tasawuf sendiri memiliki banyak fersi. Secara historis, yang pertama kali menggunakan istilah tasawuf adalah seorang zahid (acsetic) yang bernama Abu Hasyim Al-Kufi dari Irak (w.150 H). Ada anggapan bahwa lahirnya ilmu tasawwuf bukan bersamaan dengan lahirnya Islam, tetapi lahirnya tasawuf itu merupakan perpaduan dari bebagai ajaran agama.[5]
a.      Anggapan Adanya Pengaruh Ajaran Non Islam
1)      Pengaruh ajaran Kristen, yaitu adanya tulisan –tulisan tentang rahib-rahib yang hidup menjauhi dunia dan mengasingkan diri di Padang pasir Arabia atau menempati biara-biara.
2)      Pengaruh ajaan Hindu dan Budha
a)      Ajaran Hindu banyak mendorong umatnya untuk meninggalkan kehidupan dunia untuk lebih mendekattkan diri dengan Tuhannya untuk mencapai Atman dengan Brahman.
b)      Ajaran Budha tentang nirwana, untuk mencapainya seorang budha diawajibkan meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki hidup kontemplasi.
3)      Pengaruh filsafat mistik phytagoras, yaitu kesenangan ruh yang sebenarnya adalah berada di alam samawi. Maka untuk memperolehnya, manusia harus membersihkan ruh dengan meninggalkan kehidupan material. Dalam tasawuf dikenal dengan zuhud.
4)      Pengaruh filsafat emanasi Plotinus, dalam konsep emanasi dijelaskan bahwa Dzat Tuhan Yang Maha Esa-lah yang memancar dari dalam wujud ini. Ruh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya. Dalam tasawuf dikenal dengan wahdatul wujud.
b.      Lahirnya Tasawuf Bersamaan dengan Lahirnya Agama Islam
Anggapan yang kedua adalah bahwa tasawuf atau sufisme itu lahir dari agama Islam sendiri. Hal ini bisa dlihat dari ayat Al-Qur’an maupun hadits tentang ajaran tasawuf. Dalam surat Al-Baqarah: 115 dijelaskan, “Dan kepunyaan Allah-lah arah timur dan barat, maka kemanapun kalian mengarahkan (wajah kalian), di situ ada wajah Allah”. Dalam ayat lain Allah juga menerangkan, “Telah Kami ciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan olehnya. Kami lebih dekat kepada manusia ketimbang pembuluh darah yang ada pada lehernya”. ( Q.S. Qaff: 16). Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari juga disebutkan hal serupa, yang artinya “Jika seorang hamba mendekatiKu sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta, jka ia medekatiKu sehasta, niscaya Aku akan mendekatinya sedepa, dan jika ia mendekatiKu datang dengan berjalan, niscaya Aku akan mendatanginya dengan berlari”.
Selain dalil diatas, masih banyak lagi ayat Qur’an maupun hadits yang dijadikan dasar tasawuf oleh para sufi. Oleh karena itu, terlepas dari adanya pengaruh dari luar atau tidak, Islam sendiri mengajarkan sufisme. Ini berarti kelahiran tasawuf bersamaan dengan lahirnya Islam sendiri.
  1. Perkembangan Tasawuf di Dunia Islam
Secara historis, tasawuf telah mengalami banyak perkembangan melalui beberapa tahap sejak pertumbuhannya hingga sekarang. Pada sejarah umat Islam, ada peristiwa tragis, yaitu terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Dari peristiwa itu, terjadi kekacauan dan kemerosotan akhlak. Akhirnya para ulama’ dan para sahabat yang masih ada, berpikir dan berikhtiar untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, mengenai hidup zuhud dan lain sebagainya. Inilah yang menjadi awal timbulnya benih tasawuf ang paling awal.[6]
a.      Abad I dan II Hijriyah
Pada tahap ini, tasawuf masih berupa zuhud. Yaitu ketika sekelompok kaum muslim memusatkan perhatian dan memprioritaskan hidupnya pada pelaksanaan ibadah untuk mengejar kepentingan akhirat. Tokohnya antara lain:
1)      Al-Hasan Al-Bashri (w. 110 H)
2)      Rabi’ah Al-Adawiyah (w. 185 H).
b.      Abad III dan IV Hijriiyah
              Pada abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. Praktisi kerohanian yang pada masa permulaan abad ketiga hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata-mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai ( fana fi al-mahbub ). Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan dengan yang dicintai ( al-ittihad ). Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.
Pada fase ini berdiri lembaga pendididkan yang khusus mengajarkan pendidikan cara hidup sufisik dalam bentuk tarekat.  Kemudian dari beberapa tokoh lain muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi dimana seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik ( al-hissiyat). Ittihad adalah kondisi dimana seorang shufi merasa bersatu dengan Allah sehingga masing-masing bisa memanggil dengan kata aku ( ana ). Hulul adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih.[7] Tokoh-tokohnya adalah:
1)        Abu Yazid Al-Busthami (w.261 H)
2)        Al-Junaid
3)        Al-Sari Al-Saqathi
4)        Al-Kharraz
5)        Al-Hussain bin Manshur Al-Hallaj (w. 309 H)
c.       Abad V Hijriyah
Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syari’ah atau tradisi (sunnah) Nabi dan sahabatnya. Tokoh yang paling terkenal adalah Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) atau yang lebih dikenal dengan al-Ghzali yang menjadi acuan para tokoh sufi lainnya.  Tokoh tasawuf pada fase ini adalah:[8]
1)      Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H)
2)      Syaikh Ahmad Al-Rifa’i (w. 570 H)
3)      Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (w. 651 H)
4)      Syaikh Abu Hasan Al-Syadzili (w. 650 H)
5)      Abu Al-Abbas Al-Mursi (w.686 H)
6)      Ibn Atha’illah Al-Sakandari (w. 709 H)
d.      Abad VI Hijriyah
Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa ( dzauq ) dan rasio ( akal ), tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman – pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan khayalan. Dalam aliran ini para sufi lebih mengarahkan tasawuf pada “kebersatuan” dengan Allah. Perhatian mereka sangat tertuju pada aspek ini, sedangkan aspek praktik nyaris terabaikan. Para tokohnya antara lain:[9]
1)        Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Arabi ( 560-638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya.
2)        Al-Syuhrawardi Al-Maqtul (549-587 H.) dengan konsep Isyraqiyahnya.
3)        Umar ibn Al-Faridh (w. 632 H).
4)        Abd Al-Haqqi ibn Sabi’in (w. 669 H)
  1. Perkembangan Tasawuf di Indonesia    
Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah yang dibawa oleh para pedagang dari luar, termasuk dari Arab. Kemudian Islam di Indonesia mengalami pasang surut seolah-olah menghilang beberapa abad lamanya. Tetapi, pada abad ke-11 M, Islam menampakkan kekuasaannya lagi di Indonesia lewat paham Syi’ah, kemudian pada abad ke-13 berubah lagi menjadi aliran Syafi’iyah.  
Muncul pertanyaan, kapan tasawuf masuk ke Indonesia? Di Indonesia, tasawuf muncul dalam bentuk Tarekat, misalnya Tarekat Qadiriyah berasal dari Baghdad, Naqsabandiyah dar Turkistan, dan Sattariyah dari Makkah, berikut penulis akan coba memaparkan beberapa tokoh tasawuf dari Indonesia, antara lain: [10]
a.      Perkembangan Tasawuf di Pulau Jawa
          Di akhir abad ke XV Masehi, tepatnya pada tahun 1479 M, berdirilah kerajaan Islam yang pertama di pulau Jawa (di Demak, Jawa Tengah), dengan rajanya yang pertama adalah Raden Patah, maka tercatat dalam sejarah bahwa semenjak itu pula tersebarnya ajaran tasawuf.  
          Penyebaran agama Islam di pulau Jawa, tidak terlepas dari usaha para wali yang dikenal dengan nama “Wali Songo”, dengan menggunakan pendekatan mistik, yang di dalamnya diisi ajaran tasawuf.  
          Dalam perkembangan Tasawuf di Pulau Jawa, hampir sama pula dengan keadaan yang dialami oleh masyarakat Islam di pulau lain, dimana mereka dihadapkan kepada dua aliran tasawuf yang bertentangan; yaitu aliran Sunni (Salaf) dan aliran Falsafi, sebagai aliran yang sudah berkembang di Jazirah Arabiyah dan sekitarnya.  
          Ajaran tasawuf yang bercorak Sunni dan Falsafi di pulau Jawa, tetap dianut oleh masyarakat. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, tasawuf yang bercorak Falsafi inilah yang mengarah kepada aliran kebatinan, sesuai kenyataan sekarang ini. Tentu saja aliran ini, sudah dimasuki oleh unsur-unsur kepercayaan lain yang pernah dianut oleh masyarakat Jawa sebelumnya. Sehingga mewujudkan suatu bentuk lain, yang disebut aliran kebatinan dan kepercayaan.   
          Tetapi aliran tasawuf yang beraliran Sunni, tetap dikembangkan oleh masyarakat Muslim, dengan tidak meninggalkan unsur-unsur keislamannya. Hanya saja, pada  perkembangan selanjutnya, tasawuf yang bercorak Sunni ini diajarkan lewat Tarekat yang dianggap Mu’tabarah oleh Ulama Tasawuf  Indonesia.    
b.      Perkembangan Tasawuf di Pulau Sumatera    
          Perkembangan tasawuf di Sumatera, tidak terlepas dari upaya maksimal para ulama Shufi yang bermukim di beberapa daerah di pulau tersebut, untuk mengembangkan ajarannya. Ulama-ulama Shufi yang sangat berpengaruh di Sumatera. Antara lain;  
1)      Syekh Hamzah Pansuri
2)      Syekh Syamsuddin bin abdillah As-Sumatraniy
3)      Syekh Abdur Rauf  bin Ali Al-Fansuri
4)      Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani    
c.       Perkembangan Tasawuf di Pulau Kalimantan  
                        Perkembangan tasawuf di Kalimantan, sama halnya di pulau lain di Nusantara, dimana ulama yang bermukim di sana, berupaya semaksimal mungkin untuk menyebarkan ajaran tasawufnya, melalui dakwahnya, buku-buku karangannya, maupun melalui Tarekatnya.   
                        Salah seorang Shufi yang terkemuka di Kalimantan Barat adalah Syekh Ahmad Khatib As-Sambasi. Kemudian kita meninjau lagi perkembangan tasawuf di Kalimantan Selatan; antara lain dikembangkan oleh Syekh Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari. 
                        Ulama-ulama inilah yang membekali Ilmu Tasawuf  yang sangat luas kepada Syekh Muhammad Nafis, sehingga ia mendapatkan pengakuan yang tinggi oleh masyarakat luas di kalimantan selatan, dengan gelar Al-‘Alimul ‘Allamah Wal Fahhamah.   
d.      Perkembangan Tasawuf  di Pulau Sulawesi 
                        Perkembangan tasawuf di Sulawesi, tidak jauh berbeda dengan keadaan di pulau lain, dimana ajaran tasawuf yang diterimanya, ada yang bercorak Sunni dan ada pula yang bercorak Falsafi. Dan yang sangat disayangkan, karena kebanyakan penganut tasawuf Falsafi mencampur-baurkan ajaran tasawuf dengan ilmu hitam (guna-guna), sehingga makin membingungkan masyarakat awam. Hal semacam inilah yang membuat citra tasawuf di masyarakat semakin direndahkan, sehingga sekarang kurang diminati orang.  
                        Dalam pembahasan ini, penulis mengemukakan salah seorang Ulama tasawuf dari kesekian banyak ulama’ yang menekuni ilmu tersebut. Ulama yang dimaksudkan itu adalah Syekh Tajul Khalwati Al-Makassari; lahir 8 Syawal1036 H. (3 Juli 1629 M.) 
                        Ia termasuk penganut ajaran tasawuf yang beraliran sunni, yang bermukim di Goa (Sulawesi Selatan). Dan di sana-sana mula-mula mengajarkan ilmunya kepada masyarakat, meskipun ia sendiri masih berasakan kekurangan ilmu. Sehingga selalu bercita-cita hendak merantau ke daerah lain untuk menambah ilmu yang dimilikinya.[11]















BAB II
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tasawuf adalah bidang kegiataan yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Mengakui adanya sumber Islam dalam tasawuf tidak lantas berarti mengingkari pengaruh sumber-sumber asing. Akan tetapi meletakan pengaruh tersebut pada proporsi yang sebenarnya dan tidak dibesar-besarkan. Sebaiknya tidak baik apabila terlalu mengedepankan sumber-sumber asing saja, padahal banyak sekali dalil yang bisa dijadikan acuan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Bertasawuf bertujuan memperoleh hubungan secara sadar antara manusia dengan Tuhannya untuk mendekatkan diri kepadaNya dengan mengikuti konsep-konsep yang ada dalam taasawuf.
Adanya tasawuf menjadi jalan keluar dari kemelut perpolitikan kaum Muslim yang telah menyebabkan terbunuhnya Khalifah Usman bin Afffan. Sepeninggal Sang Khalifah, umat Islam saat itu terlena dengan konflik yang tiada henti dan banyak melakukan kemunkaran.
Secara garis besar, perkembangan tasawuf baik di dunia Islam maupun di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan Ilmu pengetahuan dan keadaaan sosial politik umat Islam saat itu. Alam perkembangannya dapat dibagi dalam tiga bentuk, yaitu tasawuf sunny, tasawuf amali dan tasawuf falsafi.
Tidak perlu ada pertentangan antara ajaran tasawuf yang tidak sepenuhnya ada dalam ajaran syariat Islam. Hal yang penting adalah bagaimana kita bisa selalu berupaya untuk mendekatkn diri kepada Allah Swt dengan menjadikan syariat Islsam sebagai pedoman untuk mencapai hakikat.








DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar Atjeh.1990. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo : Ramadhani
Abuddin Nata. 2006. Akhlak Tasawuf, Jakarta; Rajagrafindo Persada2006
Alwi Syihab. 2001. Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, Bandung: Mizan
Amin Syukur. 2002.  Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
http://kcpkiainws.wordpress.com/2009/06/18/sejarah-perkembangan-tasawuf/
Mahyuddin2003. Kuliah Akhlaq Tasawuf, Jakarta; Kalam Mulia
Noer Iskandar Al Barsany.2001. Tasawuf Tarekat Para Sufi, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Rosyid Anwar, sholihin.2005. Akhlak Tasawuf, Bandung; Nuansa
Rosihon Anwar, Solihin.2008. Ilmu Tasawuf, Bandung; Pustaka Setia


[1] Rosyid Anwar, sholihin, Akhlak Tasawuf,(Bandung; Nuansa2005),hal 150.
2.Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta; Rajagrafindo Persada2006),  hal 180.
3. Rosihon Anwar, Solihin, Ilmu Tasawuf,(Bandung; Pustaka Setia,2008),  hal 25.
[4] Abu Bakar Atjeh,  Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo : Ramadhani, 1990),  hal 36-37.
[5] Noer Iskandar Al Barsany, Tasawuf Tarekat Para Sufi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal 8-14.
[6] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal 29.
[7] http://kcpkiainws.wordpress.com/2009/06/18/sejarah-perkembangan-tasawuf/
[8]  Alwi Syihab, Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan,2001), hal 32.
[9]  http://kcpkiainws.wordpress.com/2009/06/18/sejarah-perkembangan-tasawuf/
10. Rosyid Anwar, sholihin ,Akhlak Tasawuf,(Bandung; Nuansa) 2005,hal 231

11. Mahyuddin, Kuliah Akhlaq Tasawuf, (Jakarta; Kalam Mulia2003), hal 101.

Tugas 3.3.a.10 Aksi Nyata- Pengelolaan Program yang Berdampak Pada Murid

  Tugas 3.3.a.10. Aksi Nyata Pengelolaan Program Yang Berdampak Pada Murid Oleh. Nurwahid CGP Angkatan 4 Kabupaten Melawi Provinsi Kalimanta...