BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Tasawuf adalah cabang
ilmu dalam Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam.
Spiritualitas ini dapat mengambil bentuk
yang beraneka ragam di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih mengedepankan
aspek rohaninya dari pada aspek jasmaninya. Dalam kaitannya dengan kehidupan,
ia lebih menekankan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dnia yang fana,
sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ia lebih menekankan aspek
esoterik dari pada eksoterik, lebih menekankan penafsiran bathini dari pada
penafsiran lahiriyah.
Islam merupakan agama
yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal ini tampak
misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek esoterik) dengan beragam
praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik).
Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan
perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat
menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf
memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan jiwa). Upaya
inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan
disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai
pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi
sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri).
Dengan hati yang
jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya akan dapat
mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya karena mampu
merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap langkah
perbuatannya. Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk
menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan
sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.
tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab
(penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang
diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan
adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. Islam
sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga
keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban,
pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama
lainnya.
Tasawuf pada mulanya
adalah bagian dari ajaran zuhd dalam islam. Yaitu lebih berkonsentrasi dalam
pendekatan diri kepada Allah SWT dengan ketaatan dan ibadah. Semakin jauh dari
zaman Rasul SAW semakin banyak aliran-aliran tasawuf berkembang. Dari perbedaan
tatacara yang digunakan oleh masing-masing aliran itu tasawuf menjadi istilah
yang terpisah dari ajaran zuhud. Karena tasawuf telah menjadi aliran yang
memiliki makna khusus sebab kekhususan praktek ajaran yang ditempuhnya.
Ada tiga unsur dalam
diri manusia yaitu: ruh, akal, dan jasad. Kemulian manusia dibanding dengan
makhluk lainnya adalah karena manusia memiliki unsur ruh ilahi. Ruh yang
dinisbahkan kepada Allah. SWT. Ruh Ilahi inilah yang menjadikan manusia
memiliki sisi kehidupan rohani yang dapat diistilahkan dengan makna tasawuf.
Dimana kecondongan ini juga dimiliki oleh semua manusia dalam setiap agama.
Karena perasaan itu merupakan fitrah manusia. Secara umum dapat juga kita
ibaratkan makna tasawuf dengan filsafat kehidupan dan metode khusus sebagai
jalan manusia untuk mencapai akhlak sempurna, menyingkap hakikat dan
kebahagiaan jiwa. Adapun inti dari tasawuf sendiri ialah tekun beribadah,
menjauhi kemewahan dunia dan mengasingkan diri dari manusia untuk beribadah
sebagaimana para sahabat dan ulama terdahulu melakukannya. Nabi SAW sendiri
secara sufistic telah memiliki prilaku sufi sejak dalam kehidupannya, seperti
dalam perilaku atau pribadi beliau, peristiwa dalam hidup, ibadah. Sebelum
menjadi Rasul, beliau sering berkholwat di gua hira dengan berdzikir,
bertafakur untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT.
Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai sejarah perkembangan tasawuf dari awal kelahirannya hingga
sampai di Indonesia. Antara lain; Pengertian tasawuf, tujuan tasawuf,
dasar-dasar tasawuf, tujuan tasawuf, sejarah perkembangan tasawuf dari
kelahirannya, perkembangan di dunia Islam dan perkembangannya di Indonesia. Di
dalamnya disertai dengan nama-nanma tokoh yang dihsilkan pada tiap-tiap fase
perkembangan tasawuf. Dari pembahasan pemakalah, kami sadari masih banyak
sekali kekurangan. Oleh karena itu, kapada para pembaca sangat diharapkan
sumbangan pemikirannya demi tersempurnakannya makalah ini lebih baik lagi.
B.
SUB MASALAH
1. Apa Defenisi atau Pengertian Tasawuf
2. Apa saja Dasar-dasar yang digunakan Tasawuf
3. Tujuan tasawuf
4. Sejarah perkembangan tasawuf
5. Perkembangan tasawuf di indonesia
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN
TASAWUF
A.
PENGERTIAN TASAWUF
Secara lughat, tasawuf
berasal dari bermacam-macam kata. Apabila kita perhatikan dari bahasa arab,
maka kata tasawuf berasal dari tasrif: tasawwaf-yatasawwafu-tasawwufan.
Misalnya, tasawwafar-rajulu, artinya “seorang laki-laki sedang
bertasawuf”.[1]
Di lihat dari aspek
bahasa, tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri,
beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap
bijaksana. Sikap
dan jiwa yang demikian itu pada hakikatnya merupakan akhlak mulia.
Adapun
pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung
kepada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut
pandang yang digunakan para ahli untuk mendifinisikan tasawuf, yaitu sudut
pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang
harus berjuang, dan manusia sebagai
makhluk yang ber-Tuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk
yang terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri
dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan kehidupan dunia, dan memusatkan
perhatian hanya kepada Allah SWT.
Selanjutnya jika sudut
pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka
tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang
bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan
jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka
tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhanan) yang dapat
mengarahkan jiwa agar tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan
manusia dengan Tuhan.[2]
1.
Dasar-Dasar Tasawuf
a. Dasar
Al-Quran
Dalam hal ini, tasawuf pada awal
pembentukannya adalah manifestasi akhlak atau keagamaan. Moral keagamaan ini
banyak disinggung dalam al-Quran dan
As-Sunnah. Dengan demikian, sumber pertama tasawuf adalah ajaran-ajaran islam,
sebab tasawuf ditimba dari al-quran dan as-sunnah, dan amalan-amalan serta ucapan
para sahabat tentu saja tidak keluar dari ruang lingkup Al-Quran dan As-Sunnah.
Dengan begitu, justru dua
sumber utama tasawuf adalah adalah al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri.
Di dalam al-Qur’an banyak ditemui ayat-ayat yang
mendorong manusia memikirkan alam raya ini, dengan berpikir akan nampak
keindahannya dan keindahan pencipta dan dengan demikian akan tumbuh rasa cinta
yang mendalam terhadap pencipta. Di antaranya dalam firman Allah:
إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لأيات لأولى الألباب
Artinya, “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal ”(S. Ali Imran 190).
Demikian juga sekian banyak ayat yang memberikan
contoh akhlak mulia dan akhlak yang buruk, melalui cerita umat-umat yang
lampau, atau melalui larangan dan perintah. Demikian pula manusia selalu
didorong beramal saleh dan mengendalikan nafsu keinginannya dan dalam kemampuan
mengendalikan nafsu keinginan terletak keberuntungan hidup. Allah berfirman:
ونفس وما سواها فألهمها فجورها وتقواها قد أفلح من ذكاها وقد خاب من دساها
Artinya “Dan jiwa serta penyempurnaannya
(penciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (S. Asy-Syams 7-10)
Contoh kehidupan shufi banyak pula ditemui dalam
kehidupan Rasulullah sehari-hari, yang penuh dengan penderitaan dan waktunya
dihabiskan untuk beribadah dan berbakti kepada manusia. Sebelum ia diangkat
menjadi Rasul, ia sering melakukan tahannus (khalwat) di gua Hira di Jabal Nur
untuk memohon petunjuk. Usman bin Affan meskipun termasuk orang yang kaya yang
mendapat kelapangan rezeki dari Allah, namun dalam kehidupannya sehari-hari
juga sangat sederhana. Di kala ia berada di rumah, kitab suci al-Qur’an selalu
di tangannya, pada malam hari ia selalu menelaah isi al-Qur’an dan kadang kala
sampai larut malam dan ketika ia tewas dibunuh oleh para pemberontak al-Qur’an masih
berada di tangannya. Karena itu, orang shufi berpendapat ada hal-hal yang perlu
disembunyikan sebagai rahasia dalam ilmu tasawuf dan ajaran-ajaran yang seperti
itu tidak boleh dibeberkan kepada orang lain kecuali kepada orang yang dianggap
layak menerimanya. Mereka berlandaskan ucapan Abu Hurairah yang diriwayatkan
oleh Bukhari yang katanya: “Aku peroleh dari Rasulullah dua bejana ilmu
pengetahuan, satu di antaranya yang kusampaikan kepada orang lain, dan yang
satu lagi tidak kusampaikan dan kalau kusampaikan juga niscaya leherku akan
dipenggal”.
b. Dasar Hadits
Sejalan dengan apa yang telah disitir dalam al-Qur’an, sebagaimana
dijelaskan di atas, ternyata tasawuf juga dilihat dalam kerangka hadits.[3] Umumnya yang dinyatakan sebagai landasan ajaran
tasawuf adalah hadits berikut:
من عرف نفسه فقد عرف ربه
Artinya: “Barang sisapa yang mengenali dirinya, niscaaya ia akan mengenai Tuhannya” (Al- Hadits).
B.
Tujuan Tasawuf
Ilmu
tasawuf itu adalah tuntunan yang dapat membawa manusia kepada mengenal Tuhan
dengan sebenar-benarnya, yaitu ma’rifat. Ma’rifat ini adalah merupakan jalan atau
tarekat yang terbaik dengan akhlak yang seindah-indahnya dan jauh lebih baik dari hikmah lahiriyah semata. Maka dari itu,tujuan dari
tasawuf itu tiada lain adalah membawa manusia setingkat demi setingkat menuju lebih dekat kepada Tuhannnya.[4]
C. Sejarah Pekembangan Tasawuf
- Kelahiran Tasawuf
Kelahiran tasawuf sendiri memiliki banyak fersi. Secara historis, yang
pertama kali menggunakan istilah tasawuf adalah seorang zahid (acsetic) yang
bernama Abu Hasyim Al-Kufi dari Irak (w.150 H). Ada anggapan bahwa lahirnya
ilmu tasawwuf bukan bersamaan dengan lahirnya Islam, tetapi lahirnya tasawuf
itu merupakan perpaduan dari bebagai ajaran agama.[5]
a. Anggapan Adanya Pengaruh Ajaran Non Islam
1) Pengaruh ajaran Kristen, yaitu adanya tulisan –tulisan tentang
rahib-rahib yang hidup menjauhi dunia dan mengasingkan diri di Padang pasir Arabia atau menempati biara-biara.
2) Pengaruh ajaan Hindu dan Budha
a) Ajaran Hindu banyak mendorong umatnya untuk meninggalkan kehidupan dunia
untuk lebih mendekattkan diri dengan Tuhannya untuk mencapai Atman
dengan Brahman.
b) Ajaran Budha tentang nirwana, untuk mencapainya seorang budha diawajibkan
meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki hidup kontemplasi.
3) Pengaruh filsafat mistik phytagoras, yaitu kesenangan ruh yang sebenarnya adalah berada di alam samawi. Maka untuk memperolehnya, manusia
harus membersihkan ruh dengan meninggalkan kehidupan material. Dalam tasawuf dikenal
dengan zuhud.
4) Pengaruh filsafat emanasi Plotinus, dalam konsep emanasi dijelaskan
bahwa Dzat Tuhan Yang Maha Esa-lah yang memancar dari dalam wujud ini. Ruh
berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya. Dalam tasawuf dikenal dengan wahdatul
wujud.
b. Lahirnya Tasawuf Bersamaan dengan Lahirnya Agama Islam
Anggapan yang kedua adalah bahwa tasawuf atau sufisme itu lahir dari agama
Islam sendiri. Hal ini bisa dlihat dari ayat Al-Qur’an maupun hadits tentang
ajaran tasawuf. Dalam surat Al-Baqarah: 115
dijelaskan, “Dan kepunyaan Allah-lah arah timur dan barat, maka kemanapun
kalian mengarahkan (wajah kalian), di situ ada wajah Allah”. Dalam ayat
lain Allah juga menerangkan, “Telah Kami ciptakan manusia dan kami mengetahui
apa yang dibisikkan olehnya. Kami lebih dekat kepada manusia ketimbang pembuluh
darah yang ada pada lehernya”. ( Q.S. Qaff: 16). Selain itu, dalam hadits yang
diriwayatkan Imam Bukhari juga disebutkan hal serupa, yang artinya “Jika
seorang hamba mendekatiKu sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta, jka ia
medekatiKu sehasta, niscaya Aku akan mendekatinya sedepa, dan jika ia
mendekatiKu datang dengan berjalan, niscaya Aku akan mendatanginya dengan
berlari”.
Selain dalil diatas, masih banyak lagi ayat Qur’an
maupun hadits yang dijadikan dasar tasawuf oleh para sufi. Oleh karena itu,
terlepas dari adanya pengaruh dari luar atau tidak, Islam sendiri mengajarkan
sufisme. Ini berarti kelahiran tasawuf bersamaan dengan lahirnya Islam sendiri.
- Perkembangan Tasawuf di Dunia Islam
Secara historis, tasawuf telah mengalami banyak
perkembangan melalui beberapa tahap sejak pertumbuhannya hingga sekarang. Pada
sejarah umat Islam, ada peristiwa tragis, yaitu terbunuhnya khalifah Usman bin
Affan. Dari peristiwa itu, terjadi kekacauan dan kemerosotan akhlak. Akhirnya
para ulama’ dan para sahabat yang masih ada, berpikir dan berikhtiar untuk
membangkitkan kembali ajaran Islam, mengenai hidup zuhud dan lain sebagainya.
Inilah yang menjadi awal timbulnya benih tasawuf ang paling awal.[6]
a. Abad I dan II Hijriyah
Pada tahap ini, tasawuf masih berupa zuhud. Yaitu
ketika sekelompok kaum muslim memusatkan perhatian dan memprioritaskan hidupnya
pada pelaksanaan ibadah untuk mengejar kepentingan akhirat. Tokohnya antara
lain:
1) Al-Hasan Al-Bashri (w. 110 H)
2) Rabi’ah Al-Adawiyah (w. 185 H).
b. Abad III dan IV Hijriiyah
Pada abad ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. Praktisi
kerohanian yang pada masa permulaan abad ketiga hijriyah mendapat sebutan shufi.
Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan ruhani mereka tidak semata-mata
kebahagian akhirat yang ditandai dengan pencapaian pahala dan penghindaran
siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari
dengan cinta. Cinta Tuhan membawa konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk
kedalam yang dicintai ( fana fi al-mahbub ). Kondisi ini tentu akan
mendorong ke persatuan dengan yang dicintai ( al-ittihad ). Di sini
telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.
Pada fase ini berdiri lembaga pendididkan yang khusus mengajarkan
pendidikan cara hidup sufisik dalam bentuk tarekat. Kemudian dari beberapa tokoh lain muncul
istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu
kondisi dimana seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik ( al-hissiyat).
Ittihad adalah kondisi dimana seorang shufi merasa bersatu dengan Allah
sehingga masing-masing bisa memanggil dengan kata aku ( ana ). Hulul
adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih.[7] Tokoh-tokohnya adalah:
1)
Abu Yazid Al-Busthami
(w.261 H)
2)
Al-Junaid
3)
Al-Sari Al-Saqathi
4)
Al-Kharraz
5)
Al-Hussain bin Manshur
Al-Hallaj (w. 309 H)
c. Abad V Hijriyah
Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan
dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an dan al-Hadits atau yang sering disebut
dengan tasawuf sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan
tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan
reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari
koridor syari’ah atau tradisi (sunnah) Nabi dan sahabatnya. Tokoh yang paling
terkenal adalah Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) atau yang lebih dikenal dengan
al-Ghzali yang menjadi acuan para tokoh sufi lainnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah:[8]
1) Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H)
2) Syaikh Ahmad Al-Rifa’i (w. 570 H)
3) Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (w. 651 H)
4) Syaikh Abu Hasan Al-Syadzili (w. 650 H)
5) Abu Al-Abbas Al-Mursi (w.686 H)
6) Ibn Atha’illah Al-Sakandari (w. 709 H)
d. Abad VI Hijriyah
Fase ini ditandai dengan munculnya tasawuf falsafi yakni
tasawuf yang memadukan antara rasa ( dzauq ) dan rasio ( akal ), tasawuf
bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman – pengalaman
yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan
dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud
yang sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa
hilang dan sekedar sangkaan dan khayalan. Dalam aliran ini para sufi lebih
mengarahkan tasawuf pada “kebersatuan” dengan Allah. Perhatian mereka sangat
tertuju pada aspek ini, sedangkan aspek praktik nyaris terabaikan. Para
tokohnya antara lain:[9]
1)
Muhyiddin Ibn Arabi
atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Arabi ( 560-638 H.) dengan konsep wahdah
al-Wujudnya.
2)
Al-Syuhrawardi
Al-Maqtul (549-587 H.) dengan konsep Isyraqiyahnya.
3)
Umar ibn Al-Faridh (w.
632 H).
4)
Abd Al-Haqqi ibn
Sabi’in (w. 669 H)
- Perkembangan Tasawuf di Indonesia
Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah yang dibawa oleh para
pedagang dari luar, termasuk dari Arab. Kemudian Islam di Indonesia mengalami
pasang surut seolah-olah menghilang beberapa abad lamanya. Tetapi, pada abad
ke-11 M, Islam menampakkan kekuasaannya lagi di Indonesia lewat paham Syi’ah, kemudian pada abad ke-13 berubah lagi menjadi aliran Syafi’iyah.
Muncul
pertanyaan, kapan tasawuf masuk ke Indonesia? Di Indonesia, tasawuf muncul
dalam bentuk Tarekat, misalnya Tarekat Qadiriyah berasal dari Baghdad,
Naqsabandiyah dar Turkistan, dan Sattariyah dari Makkah, berikut penulis akan
coba memaparkan beberapa tokoh tasawuf dari Indonesia, antara lain: [10]
a. Perkembangan
Tasawuf di Pulau Jawa
Di
akhir abad ke XV Masehi, tepatnya pada tahun 1479 M, berdirilah kerajaan Islam
yang pertama di pulau Jawa (di Demak, Jawa Tengah), dengan rajanya yang pertama
adalah Raden Patah, maka tercatat dalam sejarah bahwa semenjak itu pula
tersebarnya ajaran tasawuf.
Penyebaran
agama Islam di pulau Jawa, tidak terlepas dari usaha para wali yang dikenal
dengan nama “Wali Songo”, dengan menggunakan pendekatan mistik, yang di
dalamnya diisi ajaran tasawuf.
Dalam
perkembangan Tasawuf di Pulau Jawa, hampir sama pula dengan keadaan yang
dialami oleh masyarakat Islam di pulau lain, dimana mereka dihadapkan kepada
dua aliran tasawuf yang bertentangan; yaitu aliran Sunni (Salaf) dan aliran
Falsafi, sebagai aliran yang sudah berkembang di Jazirah Arabiyah dan sekitarnya.
Ajaran
tasawuf yang bercorak Sunni dan Falsafi di pulau Jawa, tetap dianut oleh
masyarakat. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, tasawuf yang bercorak Falsafi
inilah yang mengarah kepada aliran kebatinan, sesuai kenyataan sekarang ini.
Tentu saja aliran ini, sudah dimasuki oleh unsur-unsur kepercayaan lain yang
pernah dianut oleh masyarakat Jawa sebelumnya. Sehingga mewujudkan suatu bentuk
lain, yang disebut aliran kebatinan dan kepercayaan.
Tetapi
aliran tasawuf yang beraliran Sunni, tetap dikembangkan oleh masyarakat Muslim,
dengan tidak meninggalkan unsur-unsur keislamannya. Hanya saja, pada perkembangan selanjutnya, tasawuf yang
bercorak Sunni ini diajarkan lewat Tarekat yang dianggap Mu’tabarah oleh Ulama
Tasawuf Indonesia.
b. Perkembangan
Tasawuf di Pulau Sumatera
Perkembangan
tasawuf di Sumatera, tidak terlepas dari upaya maksimal para ulama Shufi yang
bermukim di beberapa daerah di pulau tersebut, untuk mengembangkan ajarannya. Ulama-ulama Shufi yang sangat berpengaruh di Sumatera. Antara lain;
1) Syekh Hamzah Pansuri
2) Syekh Syamsuddin bin abdillah As-Sumatraniy
3) Syekh
Abdur Rauf bin Ali Al-Fansuri
4) Syekh
Abdus Shamad Al-Falimbani
c. Perkembangan
Tasawuf di Pulau Kalimantan
Perkembangan tasawuf di Kalimantan, sama halnya di
pulau lain di Nusantara, dimana ulama yang bermukim di sana, berupaya
semaksimal mungkin untuk menyebarkan ajaran tasawufnya, melalui dakwahnya,
buku-buku karangannya, maupun melalui Tarekatnya.
Salah seorang Shufi yang terkemuka di Kalimantan
Barat adalah Syekh Ahmad Khatib As-Sambasi. Kemudian kita meninjau lagi
perkembangan tasawuf di Kalimantan Selatan; antara lain dikembangkan oleh Syekh
Muhammad Nafis bin Idris bin Husein Al-Banjari.
Ulama-ulama inilah yang membekali Ilmu Tasawuf yang sangat luas kepada Syekh Muhammad Nafis,
sehingga ia mendapatkan pengakuan yang tinggi oleh masyarakat luas di
kalimantan selatan, dengan gelar Al-‘Alimul ‘Allamah Wal Fahhamah.
d. Perkembangan
Tasawuf di Pulau Sulawesi
Perkembangan tasawuf di Sulawesi, tidak jauh
berbeda dengan keadaan di pulau lain, dimana ajaran tasawuf yang diterimanya,
ada yang bercorak Sunni dan ada pula yang bercorak Falsafi. Dan yang sangat
disayangkan, karena kebanyakan penganut tasawuf Falsafi mencampur-baurkan
ajaran tasawuf dengan ilmu hitam (guna-guna), sehingga makin membingungkan
masyarakat awam. Hal semacam inilah yang membuat citra tasawuf di masyarakat
semakin direndahkan, sehingga sekarang kurang diminati orang.
Dalam pembahasan ini, penulis mengemukakan salah
seorang Ulama tasawuf dari kesekian banyak ulama’ yang menekuni ilmu tersebut.
Ulama yang dimaksudkan itu adalah Syekh Tajul Khalwati Al-Makassari; lahir 8
Syawal1036 H. (3 Juli 1629 M.)
Ia termasuk penganut ajaran tasawuf yang beraliran
sunni, yang bermukim di Goa (Sulawesi Selatan). Dan di sana-sana mula-mula mengajarkan ilmunya
kepada masyarakat, meskipun ia sendiri masih berasakan kekurangan ilmu.
Sehingga selalu bercita-cita hendak merantau ke daerah lain untuk menambah ilmu
yang dimilikinya.[11]
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf adalah bidang kegiataan yang berhubungan
dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Mengakui adanya sumber Islam dalam tasawuf tidak
lantas berarti mengingkari pengaruh sumber-sumber asing. Akan tetapi meletakan
pengaruh tersebut pada proporsi yang sebenarnya dan tidak dibesar-besarkan.
Sebaiknya tidak baik apabila terlalu mengedepankan sumber-sumber asing saja,
padahal banyak sekali dalil yang bisa dijadikan acuan dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
Bertasawuf bertujuan memperoleh hubungan secara sadar
antara manusia dengan Tuhannya untuk mendekatkan diri kepadaNya dengan
mengikuti konsep-konsep yang ada dalam taasawuf.
Adanya tasawuf menjadi jalan keluar dari kemelut
perpolitikan kaum Muslim yang telah menyebabkan terbunuhnya Khalifah Usman bin
Afffan. Sepeninggal Sang Khalifah, umat Islam saat itu terlena dengan konflik
yang tiada henti dan banyak melakukan kemunkaran.
Secara garis besar, perkembangan tasawuf baik di dunia
Islam maupun di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan Ilmu pengetahuan
dan keadaaan sosial politik umat Islam saat itu. Alam perkembangannya dapat
dibagi dalam tiga bentuk, yaitu tasawuf sunny, tasawuf amali dan tasawuf falsafi.
Tidak perlu ada pertentangan antara ajaran tasawuf
yang tidak sepenuhnya ada dalam ajaran syariat Islam. Hal yang penting adalah
bagaimana kita bisa selalu berupaya untuk mendekatkn diri kepada Allah Swt
dengan menjadikan syariat Islsam sebagai pedoman untuk mencapai hakikat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Bakar Atjeh.1990. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo : Ramadhani
Abuddin Nata.
2006. Akhlak Tasawuf, Jakarta; Rajagrafindo Persada2006
Alwi Syihab. 2001. Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya
Hingga Kini di Indonesia, Bandung: Mizan
Amin
Syukur. 2002. Menggugat Tasawuf, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
http://kcpkiainws.wordpress.com/2009/06/18/sejarah-perkembangan-tasawuf/
Mahyuddin2003. Kuliah Akhlaq Tasawuf, Jakarta; Kalam Mulia
Noer
Iskandar Al Barsany.2001. Tasawuf Tarekat Para Sufi, Jakarta: PT. Raja
Grafindo
Rosyid
Anwar, sholihin.2005. Akhlak Tasawuf, Bandung; Nuansa
Rosihon Anwar, Solihin.2008.
Ilmu Tasawuf, Bandung; Pustaka Setia
[1]
Rosyid Anwar, sholihin, Akhlak
Tasawuf,(Bandung; Nuansa2005),hal 150.
[5] Noer
Iskandar Al Barsany, Tasawuf Tarekat Para Sufi, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2001), hal 8-14.
[6]
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), hal 29.
[7]
http://kcpkiainws.wordpress.com/2009/06/18/sejarah-perkembangan-tasawuf/
[8] Alwi Syihab, Islam Sufistik; Islam
Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung:
Mizan,2001), hal 32.