BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Muncul dan berkembangnya agama islam di Indonesia tidak bisa luput
dari pertautan kesejarahan yang panjang bagi ibu pertiwi. Sebelum islam hadir,
masyarakat dinusantara telah mengenal dan menjalankan sistem budaya dan religi
yang begitu kompleks dan kosmopolit. Beragam bentuk kebudayaan dan praktek
keagamaan membaur menjadi warna khas bagi bangsa khatulistiwa ini. Berangkat
dari itu, maka sulit bahkan tidak mungkin kekayaan budaya lokal (indigenous
culture) di cabut dari akarnya begitu saja, bahkan oleh sistem budaya, dan
strategi apapun.
Maraknya tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama di
seluruh dunia belakangan ini menjadikan para peneliti melihat dan mencari
alternatif model penyebaran Islam yang berbeda dengan yang selama ini dikenal,
khususnya di dunia Arab. Dakwah Islam Nusantara menarik untuk dikemukakan
sebagai antitesis pendekatan tersebut, karena dakwah di kawasan ini berlangsung
dengan aman, damai dan jauh dari ekspresi kekerasan.
Islam Nusantara memang berbeda dalam respon dan
ekspresinya dengan Islam yang berkembang di wilayah dan kawasan lain, mengingat
perbedaan budaya, adat dan konstruksi sosialnya. Sebagai sebuah kawasan maritim
dengan alam yang subur di tengah lintasan garis katulistiwa dan dihuni oleh
ratusan suku dan beragam bahasa, Islam Nusantara tumbuh dalam menyerap kearifan
lokal yang ada. Kelenturannya ketika berhadapan dengan budaya lokal menjadi
ciri penting bagi karakteristiknya. Eksplorasi terhadap filosofi dan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dan yang menjadikannya berbeda dengan
yang berkembang di wilayah-wilayah dan kawasan-kawasan lainnya adalah penting
dan niscaya. Oleh karena itu, kajian terhadap tokoh-tokoh dakwah di seantero
Nusantara, dengan Sunan Kalijaga sebagai iconnya, dan lembaga-lembaga dan
organisasi pengembang dakwah, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah,
termasuk karya-karya yang dihasilkan seperti: serat, suluk, babad serta
manuskrip, perlu dilakukan guna lebih mengetahui eksistensi dan ekspresi
tradisi yang berkembang pada waktu itu, yang barangkali juga bisa menjadi
alternatif bacaan bagi penguatan tradisi di masa kini.
Islam dengan wujud dan formasi keagamaannya pun tidak mungkin
memaksakan diri untuk menolak budaya yang ada di nusantara. Meletakkan posisi
binner antara islam dan budaya nusantara, berarti memaksakan kehendak untuk
disingkirkan oleh arus besar kelompok yang meyakini akan terciptanya akulturasi
budaya Islam Indonesia. Peran penting kesejarahan islam pada awal
perkembangannya di Indonesia dimainkan secara apik oleh parawali dan ulama,
sehingga sifat islam yang akomodatif tersebut dapat diterima dengan mudah oleh
masyarakat setempat.
Islam adalah agama yang berkarakteristikkan universal, dengan
pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful,
kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik
sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya
menjadi tema peradaban Islam. Kuntowijoyo, (1991: 229)
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke
bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya
lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri.
Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang
diistilahkan Gus Dur dengan "pribumisasi Islam".
Upaya rekonsiliasi memang wajar
antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa
dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya
rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa
tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang
terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun
saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam
dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam
ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang
lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan
makrifat. Abdurrahman Wahid (1989: 92)
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat
gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan
bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia
dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak
memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya
akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa
Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam.
Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam
bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas
mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian. Abdurrahman Wahid
(1989: 92)
Yang patut diamati pula, kebudayaan
populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol
Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan
yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia. Sehubungan dengan hal ini,
kita patut mencontoh metodologi Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam di Tanah
Jawa. Sunan Kalijaga begitu melihat proses keruntuhan feodalisme Maja pahit dan
digantikan oleh egalitarianisme Islam, ia mendorong percepatan proses
transformasi itu, justeru dengan menggunakan unsur-unsur lokal guna menopang
efektifitas segi teknis dan operasionalnya. Salah satu yang ia gunakan adalah
wayang, juga gamelan yang dalam gabungannya dengan unsur-unsur upacara Islam
populer adalah menghasilkan tradisi sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam
seperti Cirebon, Demak, Yogyakarta dan Surakarta. Dalam seni musik Islam
misalnya, yang mengandung elemen-elemen isi, tujuan, cara penyajian yang
islami, kenapa justru alat musiknya seperti rebana yang lebih diperhatikan.
B.
Sub
Masalah
1.
Hubungan
Islam dan Budaya
2.
Islam
Sebagai Agama Universal
3.
Masa
depan dan Tren Keislaman Indonesia
4.
Akulturasi
Budaya dalam Telaah Islam Nusantara
C.
Manfaat
Penulisan Makalah
Penulisan makalah ini dapat bermanfaat yaitu secara
teoritis diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, terkait, “ISLAM DAN BUDAYA
LOKAL DALAM SEMANGAT ISLAM NUSANTARA ” Sedangkan dari sisi
praktis, diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak yang ingin mengkaji
lebih jaut sejarah kebudayaan Islam di Indonesia, baik kalangan akademis maupun
pemerhati budaya Islam.
BAB II
ISLAM DAN
BUDAYA LOKAL
DALAM SEMANGAT
ISLAM NUSANTARA
A.
Hubungan
Islam Dan Budaya
Agama (Islam) dan kebudayaan
merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling melengkapi satu
sama lain. Ketika berbicara agama dan kebudayaan, bisa dilihat lewat aplikasi
fungsinya dalam wujud sistem budaya dan juga dalam bentuk tradisi ritual atau
upacara keagamaan yang nyata-nyata bisa mengandung nilai agama dan kebudayaan
secara bersamaan.
Berbicara agama Islam dengan kebudayaan, tentu merupakan pembahasan
yang sangat menarik. Dimana Islam sebagai agama universal merupakan rahmat bagi
semesta alam dan dalam kehadirannya di muka bumi, Islam berbaur dengan budaya
lokal suatu masyarakat (local culture), sehingga antara Islam dengan
budaya lokal tidak bisa dipisahkan, melainkan keduanya merupakan bagian yang
saling mendukung dan melengkapi.
Secara bahasa kata Islam berasal dari bahasa Arab yang di ambil
dari kata “salima” yang mempunyai arti “selamat”. Dari kata “salima” tersebut
maka terbetuk kata “aslama” yang memiliki arti “menyerah, tunduk, patuh,
dan taat”. Kata “aslama” menjadi pokok kata Islam, mengandung segala
arti yang terkandung dalam arti pokoknya, sebab itu orang yang melakukan “aslama”
atau masuk Islam dinamakan muslim. Berarti orang itu telah menyatakan
dirinya taat, menyerahkan diri, dan patuh kepada Allah Swt. dengan melakukan “aslama”
maka orang terjamin keselamatannya di dunia dan di akhirat. Selanjutnya
dari kata “aslama” juga terbentuk kata “silmun” dan “salamun”
yang berarti “damai”. Maka Islam dipahami sebagai ajaran yang cinta damai.
Karenanya seorang yang menyatakan dirinya muslim adalah harus damai dengan
Allah dan dengan sesama manusia.Didiek dan Sarjuni (2011: 71-72).
Agama Islam dalam maknanya adalah berintikan
sebagai kepatuhan yang total kepada Tuhan, menuntut sikap pasrah yang total
pula kepada-Nya. Inilah sesungguhnya makna firman Allah dalam (QS. Al-Imran:
19):
¨bÎ) úïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3
Artinya: “Sesungguhnya Agama di sisi Allah ialah
Islam”.
Menurut Nurcholish Madjid (1992: 4)
menyebutkan bahwaAyat di atas apabila diterjemahkan mengikuti makna asal
kata-kata disitu, dapat menjadi “sesungguhnya kepatuhan bagi Allah ialah sikap
pasrah”. Adapun pengertian Islam dari segi istilah adalah mengacu kepada agama
yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah Swt. bukan berasal dari
manusia dan bukan pula berasal dari Nabi Muhammad Saw. Atau dengan kata lain,
agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta.
Ajaran-ajaran-Nya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia
ini. Allah Swt. sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut
dalam (QS. Toha: 2)
!$tB $uZø9tRr& y7øn=tã tb#uäöà)ø9$# #s+ô±tFÏ9 ÇËÈ
Artinya: “Kami tidak menurunkan Al Qur‟an ini
kapadamu agar kamu menjadi susah
Ayat di atas memberi arti bahwa umat manusia yang
mau mengikuti petunjuk al-Qur‟an, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan
mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akhirat. Sebaliknya siapa saja yang
membangkang dan mengingkari ajaran Islam ini, niscaya dia akan mengalami
kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan. Islam adalah agama yang
ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada ummat manusia melalui Nabi Muhammad
Saw. Dalam Kamus Bahasa Indonesia juga dijelaskan bahwasanya Islam adalah agama
yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. berpedoman pada kitab suci al-Quran yang
diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah Swt.
Islam lahir di kota Makkah dengan dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw. sebagai Rasul Tuhan untuk membimbing manusia ke jalan yang lurus.
Setelah Nabi wafat maka istafet kepemimpinan Islam di teruskan oleh para
sahabat-sahabatnya yang di juluki “Khulafaur-Rasyidin”, pada waktu itu
Islam mulai berkembang pesat akibat ekspansi yang dilakukan oleh para daulah
Islam setelahnya, seperti Bani Abbasiyah dan Umayyah. Ajaran Islam yang
kemudian menyebar luas ke daerah-daerah luar jazirah Arab. Maka ajaran Islam
tersebut segera bertemu dengan berbagai peradaban dan budaya lokal yang sudah
mengakar selama berabad-abad. Daerah-daerah yang di datangi oleh para penyebar
Islam seperti Mesir, Siria dan daerah-daerah yang lain sudah lama mengenal
filsafat Yunani, ajaran Hindu Buddha, Majusi, dan Nasrani. Dengan demikian
Islam yang tersebar senantiasa mengalami penyesuaian dengan lingkungan dan
peradaban dan kebudayaan setempat, begitu pula yang terjadi di Indonesia
khususnya di tanah Jawa. Hariwijaya M, (2006: 165-166)
Amir Syukur (2010:30) dalam bukunua berpendapat
bahwa Islam dengan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. adalah agama
yang mengandung pengertian yang mendasar. Agama Islam bukanlah hanya milik
pembawanya yang bersifat individual ataupun milik dan diperuntukkan suatu
golongan atau negara tertentu. Islam adalah agama universal yang merupakan
wujud realisasi dari konsep “Rahmatan lil Alamin” (rahmat bagi seluruh
umat). Lebih lanjut Nurcholish Madjid mengatakan bahwasanya ajaran Islam adalah
dimaksudkan untuk seluruh umat manusia, karena Nabi Muhammad Saw. adalah utusan
Tuhan untuk seluruh umat manusia. Ini berarti bahwa ajaran Islam itu berlaku
bagi seluruh manusia yang ada dimuka bumi ini tidak hanya tertentu pada bangsa
Arab saja, namun juga kepada seluruh bangsa dalam tingkatan yang sama.Jadi
jelas bahwasanya nilai-nilai ajaran Islam yang universal adalah dapat berlaku
disembarang waktu dan tempat dan sah untuk semua golongan atau kelompok
manusia, tidak bisa dibatasi oleh suatu formalisme, seperti formalisme
“menghadap ke timur atau ke barat” (yakni, formalisme ritualistik pada
umumnya).
Dalam hal ini Nurcholish Madjid salah-satu tokoh
intelektual muslim Indonesia mengungkapkan bahwasanya antara agama (Islam) dan
budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.
Agama bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi
berbeda dengan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat. Kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun
tidak pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan budaya. Oleh karena itu,
agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya dapat berupa ekspresi
hidup keagamaan, karena ia sub-kordinat terhadap agama.Yustion dkk.
(1993: 172).
Adapun kebudayaan yang mengiringi tumbuhnya dan
menyebarnya Islam keberbagai penjuru dunia. Dengan watak, keadaan geografis dan
tatanan sosial yang ada maka melahirkan sejumlah definisi dari budaya atau
kebudayaan itu sendiri. Secara bahasa kata kebudayaan adalah merupakan serapan
dari kata Sansekerta, “Budayah” yang merupakan jamak dari kata “buddi”
yang memiliki arti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat
diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Kebudayaan adalah
hal-hal yang merupakan hasil dari keseluruhan system gagasan, tindakan, cipta,
rasa dan karsa manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang semua itu
tersusun dalam kehaidupan masyarakat. Rohiman Notowidagdo,1996:22)
Sedangkan Kebudayaan diartikan sebagai
hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan,
kesenian, dan adat istiadat, keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk
sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang
menjadi pedoman tingkah lakunya.
B.
Islam
Sebagai Agama Universal
Menurut Said Agil Husin al-Munawar
(2003:287-288) Islam adalah agama yang universal, sempurna, lentur,
elastis dan selalu dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Islam dikenal
sebagai salah satu agama yang akomodatif terhadap tradisi lokal dan ikhtilāf
ulama dalam memahami ajaran agamanya. Islam dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
kepada seluruh manusia dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang
sosial politik. Beliau membebaskan manusia dari kegelapan peradaban menuju
cahaya keimanan.
Universalisme Islam yang dimaksud adalah bahwa risalah Islam
ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan
masyarakat (al-Islam salih li kulli zamān wa makān). Ia bukan risalah
untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa mereka bangsa yang terpilih, dan
karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya. Risalah Islam adalah hidayah
dan rahmat Allah untuk segenap manusia.4 Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S.
al-Anbiyā: 107.
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.
Demikian pula dalam Q.S. al-Furqān: 1.
x8u$t6s? Ï%©!$# tA¨tR tb$s%öàÿø9$# 4n?tã ¾ÍnÏö6tã tbqä3uÏ9 úüÏJn=»yèù=Ï9 #·ÉtR ÇÊÈ
Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya
(Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan
manusia).
Universalisme Islam merupakan suatu ajaran yang diterima oleh
seluruh umat Islam sebagai akidah. Persoalan universalisme Islam dapat dipahami
secara lebih jelas melalui sifat al-waqi’iyyah (berpijak pada kenyataan
obyektif manusia). Quraish Shihab (2007:330-331)
Ajaran universal Islam
mengenai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara akan terwujud secara
substansial, tanpa menekankan simbol ritual dan tekstual. Ajaran Islam bukanlah
agama “baru”, melainkan agama yang sudah dikenal dan dijalankan oleh umat
manusia sepanjang zaman, karena sejak semula telah terbit dari fitrahnya
sendiri. Islam sebagai agama yang benar, agama yang sejati dan mengutamakan
perdamaian. Sebagai agama rahmah li al-‘ālamīn, agama Islam mampu
mengakomodasi semua kebudayaan dan perabadan manusia di seluruh dunia.
Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara muslim mayoritas di
dunia, namun paling sedikit mendapat pengaruh arabisasi, dibandingkan dengan
negaranegara muslim besar lainnya. Dua ciri paling utama dalam kesenian Islam
yakni arabesk dan kaligrafi, paling sedikit memengaruhi budaya Indonesia.
Selain itu, dalam proses Islamisasi di nusantara, penyebaran agama dan
kebudayaan Islam tidak menghilangkan kebudayaan lokal dan tidak menggunakan
kekuatan militer dalam upaya proses Islamisasi. Hal itu disebabkan karena
proses Islamisasi dilakukan secara damai melalui jalur perdagangan, kesenian,
dan perkawinan dan pendidikan.
Islamisasi juga terjadi melalui proses politik, khususnya pada
pemikiran politik Soekarno yang membuka lebar bagi golongan Islam untuk
mengislamkan negara dengan wilayah pengaruh yang relatif besar. Untuk
mengetahui hal itu, harus dipahami dalam konteks budaya Indonesia mengalami
dualisme kebudayaan, yaitu antara budaya keraton dan budaya populer di tingkat
bawah (masyarakat). Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan dalam
kebudayaan tradisional.
C.
Masa
depan dan Tren Keislaman Indonesia
Rumusan Baru
yang muncul dan telah dikedepankan oleh intelektual muslim belakangan ini
adalah ISLAM NUSANTARA (penggerak intelektual muslim Nahdatul Ulama). Sejalan
dengan reformasi yang bergulir dan kitapun sebagai masyarakat awam menyaksikan
munculnya dan banyaknya organisasi dan gerakan pemikir islam. Dan dari maraknya
organisasi ini memunculkan dan memiliki orientasi dan ideologis yang beragam,
dari yang moderat, hingga yang radikal sekalipun. Namun kini gagasan-gagasan
yang telah dibangun generasi baru intelektual muslim harus berdialog dengan
perkembangan baru islam khsusnya di indonesia.
bukan hanya
akan memberikan nuansa lain dalam konteks perkembangan islam di indonesia,
namun juga menjadikan peta gerakan pemikiran-pemikiran islam harus mengalami
revisi. Dengan demikian kaum intelektusl muslim kontemporer dituntut harus
merumuskan kembali kajian-kajian keislaman yang dikembangkan. Dalam hal ini
mereka tidak hanya harus memperkaya kajian keislaman mereka, misalanya melalui
lembaga pendidikan islam, akan tetapi harus sanggup merekonstruksi otoritas
keislaman yang telah dianggap sakral.
Menurut abdul
aziz dan Imam Thalkhah (2006:11). Para aktivis dan organisasi gerakan pemikir
islam di Indonesia hendaknya bergerak dengan menjalankan orientasi bari. Pertama,
mencari penyelesaian dalam rangka mengatasi antagonisme diantara komunitas
muslim. Kedua, menggunakan aspek fungsional dari ajaran bermazhab. Ketiga,
mencari pijakan baru didalam ajaran islam guna menyantuni dan memikirkan masa
depan umat islam secara lebih manusiawi. Dengan demikian, dimasa depan gerakan
pembaharuan pemikir islam di indonesia sangat mungkin memunculkan para pelaku
yang memiliki kesadaran lintas kultural. Pola-pola seperti inilah dapat
dipandanga sebagai fenomena berkembangnya proses integrasi antara umat islam.
D.
Akulturasi
Budaya dalam Telaah Islam Nusantara
Dalam catatan sejarah tentang siar islam, akulturasi menjadi konsep dasar
pembentukan peradaban Islam Nusantara. Konsep akulturasi dimainkan sedemikian
rupa oleh para pedagang, yang ketika itu pula berperan sebagai mubaliq (wali)
penyiar Islam, sehingga Islam menjadi agama yang mudah diterima penduduk lokal
di Nusantara. Yang ketika itu, masih menjalangkan kebudayaan Hindu dan Budha,
serta animisme dan dinamisme. Akulturasi, merupakan bentuk modifikasi
kebudayaan tampa menghilangkan kebudayaan asli .
Istilah akulturasi atau kulturisasi mempunyai berbagai arti di berbagai
para sarjana antropologi. Tetapi, semua sepaham bahwa itu merupakan proses
sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan satu kebudayaan
dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga dapat diterima dan
diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan
asli (Fathoni, 2006 : 30).
Proses akulturasi ini dimaksudkan untuk mengola kebudayaan asing yang tidak
menghilangkan unsure budaya asli hingga bisa diterima oleh penganut kebudayaan
tersebut. Sementara itu, Konjaraningrat (1990: 91), mengartikan, akulturasi
sebagai suatu kebudayaan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suatu
kebudayaan asing yang demikian berbeda sifatnya, sehingga unsur kebudayaan
asing tadi lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan kedalam budaya itu
sendiri tampa kehilangan kepribadiaan dan kebudayaanya.
Konsep akulturasi dimanfaatkan oleh para penyiar untuk menyiarkan agama Islam
Nusantara. Keberhasilan proses Islamisasi di Nusantara dengan konsep akulturasi
ini, memaksa Islam sebagai pendatang, untuk mendapatkan simbol-simbol kultural
yang selaras dengan kemampuan penangkapan dan pemahaman masyarakat yang akan
dimasukinya dalam pengakuan dunia Islam. Langkah ini merupakan salah satu watak
Islam yan pluralistis yang dimiliki semenjak awal kelahirannya
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam
masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan Islam
sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga
kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena jarak geografis
antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarakjarak kultural. Proses
kompromi kebudayaan seperti ini tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena
dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang mugkin agak
menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Kompromi
kebudayaan ini pada akhirnya melahirkan, apa yang di pulau Jawa dikenal sebagai
sinkretisme atau Islam Abangan. Islam dalam lintasan sejarah
telah menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari
budaya Arab, Persi, Turki, India sampai Melayu. Masing-masing dengan
karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus mencerminkan nilai-nilai ketauhidan
sebagai suatu unity sebagai benang merah yang mengikat secara kokoh satu
sama lain. Islam sejarah yang beragam tapi satu ini merupakan penerjemahan
Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat manusia.
Di Indonesia upaya menjaga keramahan Islam terjaga
berkat upaya pilar-pilar Islam yang tumbuh dan berkembang dengan baik.
Pilar-pilar itu adalah organisasi-organisasi Islam dan pondok pesantren yang
sejak kelahirannya hingga sekarang terus berjuang dengan caranya sendiri untuk
mewujudkan Islam Nusantara. Organisasiorganisasi
ini memiliki akar jamaah kuat di lapisan masyarakat, yang secara sosiologis
berbeda satu sama lain. Di antaranya Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Nahdlatul
Wathan, dan lainnya. Ormas dan ponpes adalah bagian dari peradaban dan kekayaan
intelektual Islam Indonesia.
Sementara itu, pondok pesantren merupakan salah satu
lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang sudah cukup tua. Selain lembaga
pendidikan, pesantren juga disebut sebagai lembaga kebudayaan. Pesantren hingga
kini menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Pesantren
merupakan ruang bagi para kiai/ ulama untuk mewariskan ilmu pengetahuan,
melestarikan ajaran, tradisi, dan pengaruhnya ke masyarakat melalui cara yang
sangat khas. Kehadiran ormas dan pesantren, ditambah dengan kekayaan budaya,
membuat nilai-nilai Islam masuk melebur menjadi satu kesatuan dan semangat
kebangsaan yang kuat.
Melalui khasanah adat istiadatnya, Indonesia mampu
menjadi sebuah negeri yang plural, namun tetap menyatukan keragaman budaya
dalam ikatan Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila sebagai dasar negara mampu
meleburkan sektesekte primordial menjadi semangat kesatuan. Akulturasi Islam
dan budaya lokal melahirkan Islam Nusantara yang ideal, berkarakter dan
terorganisasi dengan baik. Islam Indonesia bersifat plural, moderat, toleran,
dan menebarkan perdamaian bagi semuagolongan. Bisadikatakan, Nusantara
merupakan tempat pertemuan dua perspektif Islam. Indonesia yang multikultural
menjadi filter dalam masuknya perspektif Islam dari Barat dan Timur Tengah.
Dari semua itu patutnya kita sepakat bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang
ideal untuk dijadikan muara keislaman di dunia. Maka, dalam hal ini pemerintah
dan semua pihak harus mempunyai kepekaan di dalam menebar Islam Nusantara
dengan cara-cara kebajikan sekaligus menjunjung tinggi nilai budaya dan
tradisi. Menjaga kearifan lokal asli Nusantara merupakan perwujudan sikap
nasionalisme kepada negara Indonesia. Dengan perpaduan nasionalisme dan
keramahan Islam, Indonesia mampu menggapai puncak kejayaannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Antara agama (Islam) dan budaya adalah dua bidang yang dapat
dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah
menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi berbeda dengan budaya, sekalipun
berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.
Kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya,
agama berdasarkan budaya. Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya
adalah sekunder. Ajaran
universal Islam mengenai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara akan terwujud
secara substansial, tanpa menekankan simbol ritual dan tekstual. Ajaran Islam
bukanlah agama “baru”, melainkan agama yang sudah dikenal dan dijalankan oleh
umat manusia sepanjang zaman, karena sejak semula telah terbit dari fitrahnya
sendiri. Islam sebagai agama yang benar, agama yang sejati dan mengutamakan
perdamaian. Sebagai agama rahmah li al-‘ālamīn, agama Islam mampu
mengakomodasi semua kebudayaan dan perabadan manusia di seluruh dunia.
Rumusan Baru yang muncul dan telah
dikedepankan oleh intelektual muslim belakangan ini adalah ISLAM NUSANTARA
(penggerak intelektual muslim Nahdatul Ulama). Sejalan dengan reformasi yang
bergulir dan kitapun sebagai masyarakat awam menyaksikan munculnya dan
banyaknya organisasi dan gerakan pemikir islam. Dalam catatan sejarah tentang siar
islam, akulturasi menjadi konsep dasar pembentukan peradaban Islam Nusantara.
Konsep akulturasi dimainkan sedemikian rupa oleh para pedagang, yang ketika itu
pula berperan sebagai mubaliq (wali) penyiar Islam, sehingga Islam menjadi
agama yang mudah diterima penduduk lokal di Nusantara. Yang ketika itu, masih
menjalangkan kebudayaan Hindu dan Budha, serta animisme dan dinamisme.
Akulturasi, merupakan bentuk modifikasi kebudayaan tampa menghilangkan
kebudayaan asli .
B.
Saran
Kebudayaan
Islam di masa lalu mestinya harus tetap dijaga dan di lestarikan, oleh Umat
Islam, sehingga kebudayaan Islam itu tidak hilang akbat arus globalisasi dalam
masa kekinian. Dan dakwa Islam harus tetap ditegakan di Bumi Indonesia.
Selanjutnya penulis berharap dengan makalah ini pembaca dapat memberikan saran
dan keritikan untuk perbaikan dan penyempurnaan tulisan singkat ini tentang
Islam dan Budaya dalam semangat Islam Nusantara
Daftar Pustaka
Abdul Aziz dan Imam Thalkhah, 2006, Gerakan islam Kontemporer di
indonesia Sebuah Kajian Awal, Jakarta: Diva Pustaka
Abdurrahman Wahid, "Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia,
Menatap Masa Depan" (P3M, Jakarta cet. I, 1989), 92
Amin Syukur,
2010, Pengantar Studi Islam, Semarang: Pustaka Nuun.
Departemen
Agama Republik Indonesia,2007, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha
Putra.
Didiek Ahmad Supadie, dan Sarjuni (ed), 2011, Pengantar Studi
Islam.Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar.
Jakarta: Rineka Cipta.
Hariwijaya M, 2006,Islam Kejawen, Yogyakarta: Gelombang
Pasang
Konjaraningrat. 1990. Sejarah Teori
Antropologi II. Jakarta: UI Press.
Kuntowijoyo. 1991.Paridigma Islam. Mizan, cet. III
M.
Quraish Shihab, 2007, Membumikan Al-Quran:Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Cet. I; Bandung: Mizan.
Rohiman
Notowidagdo,1996, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-qur‟an dan hadis. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Said
Agil Husin al-Munawar, 2003. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta:
Ciputat Press
Yustion dkk,
1993, Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta:
Yayasan Festival Istiqlal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar