Jumat, 01 Januari 2016

Islam dan Budaya Lokal dalam Semangat Islam Nusantara



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Muncul dan berkembangnya agama islam di Indonesia tidak bisa luput dari pertautan kesejarahan yang panjang bagi ibu pertiwi. Sebelum islam hadir, masyarakat dinusantara telah mengenal dan menjalankan sistem budaya dan religi yang begitu kompleks dan kosmopolit. Beragam bentuk kebudayaan dan praktek keagamaan membaur menjadi warna khas bagi bangsa khatulistiwa ini. Berangkat dari itu, maka sulit bahkan tidak mungkin kekayaan budaya lokal (indigenous culture) di cabut dari akarnya begitu saja, bahkan oleh sistem budaya, dan strategi apapun.
Maraknya tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama di seluruh dunia belakangan ini menjadikan para peneliti melihat dan mencari alternatif model penyebaran Islam yang berbeda dengan yang selama ini dikenal, khususnya di dunia Arab. Dakwah Islam Nusantara menarik untuk dikemukakan sebagai antitesis pendekatan tersebut, karena dakwah di kawasan ini berlangsung dengan aman, damai dan jauh dari ekspresi kekerasan.
Islam Nusantara memang berbeda dalam respon dan ekspresinya dengan Islam yang berkembang di wilayah dan kawasan lain, mengingat perbedaan budaya, adat dan konstruksi sosialnya. Sebagai sebuah kawasan maritim dengan alam yang subur di tengah lintasan garis katulistiwa dan dihuni oleh ratusan suku dan beragam bahasa, Islam Nusantara tumbuh dalam menyerap kearifan lokal yang ada. Kelenturannya ketika berhadapan dengan budaya lokal menjadi ciri penting bagi karakteristiknya. Eksplorasi terhadap filosofi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dan yang menjadikannya berbeda dengan yang berkembang di wilayah-wilayah dan kawasan-kawasan lainnya adalah penting dan niscaya. Oleh karena itu, kajian terhadap tokoh-tokoh dakwah di seantero Nusantara, dengan Sunan Kalijaga sebagai iconnya, dan lembaga-lembaga dan organisasi pengembang dakwah, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, termasuk karya-karya yang dihasilkan seperti: serat, suluk, babad serta manuskrip, perlu dilakukan guna lebih mengetahui eksistensi dan ekspresi tradisi yang berkembang pada waktu itu, yang barangkali juga bisa menjadi alternatif bacaan bagi penguatan tradisi di masa kini.  
Islam dengan wujud dan formasi keagamaannya pun tidak mungkin memaksakan diri untuk menolak budaya yang ada di nusantara. Meletakkan posisi binner antara islam dan budaya nusantara, berarti memaksakan kehendak untuk disingkirkan oleh arus besar kelompok yang meyakini akan terciptanya akulturasi budaya Islam Indonesia. Peran penting kesejarahan islam pada awal perkembangannya di Indonesia dimainkan secara apik oleh parawali dan ulama, sehingga sifat islam yang akomodatif tersebut dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat setempat.
Islam adalah agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam. Kuntowijoyo, (1991: 229)
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan "pribumisasi Islam".
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat. Abdurrahman Wahid (1989: 92)
 Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian. Abdurrahman Wahid (1989: 92)
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, kita patut mencontoh metodologi Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Sunan Kalijaga begitu melihat proses keruntuhan feodalisme Maja pahit dan digantikan oleh egalitarianisme Islam, ia mendorong percepatan proses transformasi itu, justeru dengan menggunakan unsur-unsur lokal guna menopang efektifitas segi teknis dan operasionalnya. Salah satu yang ia gunakan adalah wayang, juga gamelan yang dalam gabungannya dengan unsur-unsur upacara Islam populer adalah menghasilkan tradisi sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon, Demak, Yogyakarta dan Surakarta. Dalam seni musik Islam misalnya, yang mengandung elemen-elemen isi, tujuan, cara penyajian yang islami, kenapa justru alat musiknya seperti rebana yang lebih diperhatikan.

  
B.     Sub Masalah
1.         Hubungan Islam dan Budaya
2.         Islam Sebagai Agama Universal
3.         Masa depan dan Tren Keislaman Indonesia
4.         Akulturasi Budaya dalam Telaah Islam Nusantara

C.     Manfaat Penulisan Makalah
Penulisan makalah ini dapat bermanfaat yaitu secara teoritis diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terkait, “ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DALAM SEMANGAT ISLAM NUSANTARA Sedangkan dari sisi praktis, diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak yang ingin mengkaji lebih jaut sejarah kebudayaan Islam di Indonesia, baik kalangan akademis maupun pemerhati budaya Islam.

















BAB II
ISLAM DAN BUDAYA LOKAL
DALAM SEMANGAT ISLAM NUSANTARA

A.    Hubungan Islam Dan Budaya
 Agama (Islam) dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling melengkapi satu sama lain. Ketika berbicara agama dan kebudayaan, bisa dilihat lewat aplikasi fungsinya dalam wujud sistem budaya dan juga dalam bentuk tradisi ritual atau upacara keagamaan yang nyata-nyata bisa mengandung nilai agama dan kebudayaan secara bersamaan.
Berbicara agama Islam dengan kebudayaan, tentu merupakan pembahasan yang sangat menarik. Dimana Islam sebagai agama universal merupakan rahmat bagi semesta alam dan dalam kehadirannya di muka bumi, Islam berbaur dengan budaya lokal suatu masyarakat (local culture), sehingga antara Islam dengan budaya lokal tidak bisa dipisahkan, melainkan keduanya merupakan bagian yang saling mendukung dan melengkapi.
Secara bahasa kata Islam berasal dari bahasa Arab yang di ambil dari kata “salima” yang mempunyai arti “selamat”. Dari kata “salima” tersebut maka terbetuk kata “aslama” yang memiliki arti “menyerah, tunduk, patuh, dan taat”. Kata “aslama” menjadi pokok kata Islam, mengandung segala arti yang terkandung dalam arti pokoknya, sebab itu orang yang melakukan “aslama” atau masuk Islam dinamakan muslim. Berarti orang itu telah menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, dan patuh kepada Allah Swt. dengan melakukan “aslama” maka orang terjamin keselamatannya di dunia dan di akhirat. Selanjutnya dari kata “aslama” juga terbentuk kata “silmun” dan “salamun” yang berarti “damai”. Maka Islam dipahami sebagai ajaran yang cinta damai. Karenanya seorang yang menyatakan dirinya muslim adalah harus damai dengan Allah dan dengan sesama manusia.Didiek dan Sarjuni (2011: 71-72).
Agama Islam dalam maknanya adalah berintikan sebagai kepatuhan yang total kepada Tuhan, menuntut sikap pasrah yang total pula kepada-Nya. Inilah sesungguhnya makna firman Allah dalam (QS. Al-Imran: 19):
¨bÎ) šúïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3  
Artinya: “Sesungguhnya Agama di sisi Allah ialah Islam”.
Menurut Nurcholish Madjid (1992: 4) menyebutkan bahwaAyat di atas apabila diterjemahkan mengikuti makna asal kata-kata disitu, dapat menjadi “sesungguhnya kepatuhan bagi Allah ialah sikap pasrah”. Adapun pengertian Islam dari segi istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah Swt. bukan berasal dari manusia dan bukan pula berasal dari Nabi Muhammad Saw. Atau dengan kata lain, agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta. Ajaran-ajaran-Nya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini. Allah Swt. sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut dalam (QS. Toha: 2)
!$tB $uZø9tRr& y7øn=tã tb#uäöà)ø9$# #s+ô±tFÏ9 ÇËÈ  
Artinya: “Kami tidak menurunkan Al Qur‟an ini kapadamu agar kamu menjadi susah
Ayat di atas memberi arti bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk al-Qur‟an, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akhirat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam ini, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada ummat manusia melalui Nabi Muhammad Saw. Dalam Kamus Bahasa Indonesia juga dijelaskan bahwasanya Islam adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. berpedoman pada kitab suci al-Quran yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah Swt.
Islam lahir di kota Makkah dengan dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul Tuhan untuk membimbing manusia ke jalan yang lurus. Setelah Nabi wafat maka istafet kepemimpinan Islam di teruskan oleh para sahabat-sahabatnya yang di juluki “Khulafaur-Rasyidin”, pada waktu itu Islam mulai berkembang pesat akibat ekspansi yang dilakukan oleh para daulah Islam setelahnya, seperti Bani Abbasiyah dan Umayyah. Ajaran Islam yang kemudian menyebar luas ke daerah-daerah luar jazirah Arab. Maka ajaran Islam tersebut segera bertemu dengan berbagai peradaban dan budaya lokal yang sudah mengakar selama berabad-abad. Daerah-daerah yang di datangi oleh para penyebar Islam seperti Mesir, Siria dan daerah-daerah yang lain sudah lama mengenal filsafat Yunani, ajaran Hindu Buddha, Majusi, dan Nasrani. Dengan demikian Islam yang tersebar senantiasa mengalami penyesuaian dengan lingkungan dan peradaban dan kebudayaan setempat, begitu pula yang terjadi di Indonesia khususnya di tanah Jawa. Hariwijaya M, (2006: 165-166)
Amir Syukur (2010:30) dalam bukunua berpendapat bahwa Islam dengan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. adalah agama yang mengandung pengertian yang mendasar. Agama Islam bukanlah hanya milik pembawanya yang bersifat individual ataupun milik dan diperuntukkan suatu golongan atau negara tertentu. Islam adalah agama universal yang merupakan wujud realisasi dari konsep “Rahmatan lil Alamin” (rahmat bagi seluruh umat). Lebih lanjut Nurcholish Madjid mengatakan bahwasanya ajaran Islam adalah dimaksudkan untuk seluruh umat manusia, karena Nabi Muhammad Saw. adalah utusan Tuhan untuk seluruh umat manusia. Ini berarti bahwa ajaran Islam itu berlaku bagi seluruh manusia yang ada dimuka bumi ini tidak hanya tertentu pada bangsa Arab saja, namun juga kepada seluruh bangsa dalam tingkatan yang sama.Jadi jelas bahwasanya nilai-nilai ajaran Islam yang universal adalah dapat berlaku disembarang waktu dan tempat dan sah untuk semua golongan atau kelompok manusia, tidak bisa dibatasi oleh suatu formalisme, seperti formalisme “menghadap ke timur atau ke barat” (yakni, formalisme ritualistik pada umumnya).
Dalam hal ini Nurcholish Madjid salah-satu tokoh intelektual muslim Indonesia mengungkapkan bahwasanya antara agama (Islam) dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi berbeda dengan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan budaya. Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya dapat berupa ekspresi hidup keagamaan, karena ia sub-kordinat terhadap agama.Yustion dkk. (1993: 172).
Adapun kebudayaan yang mengiringi tumbuhnya dan menyebarnya Islam keberbagai penjuru dunia. Dengan watak, keadaan geografis dan tatanan sosial yang ada maka melahirkan sejumlah definisi dari budaya atau kebudayaan itu sendiri. Secara bahasa kata kebudayaan adalah merupakan serapan dari kata Sansekerta, “Budayah” yang merupakan jamak dari kata “buddi” yang memiliki arti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Kebudayaan adalah hal-hal yang merupakan hasil dari keseluruhan system gagasan, tindakan, cipta, rasa dan karsa manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang semua itu tersusun dalam kehaidupan masyarakat. Rohiman Notowidagdo,1996:22)
Sedangkan Kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat, keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.

B.     Islam Sebagai Agama Universal
Menurut Said Agil Husin al-Munawar (2003:287-288) Islam adalah agama yang universal, sempurna, lentur, elastis dan selalu dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Islam dikenal sebagai salah satu agama yang akomodatif terhadap tradisi lokal dan ikhtilāf ulama dalam memahami ajaran agamanya. Islam dibawa oleh Nabi Muhammad saw. kepada seluruh manusia dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang sosial politik. Beliau membebaskan manusia dari kegelapan peradaban menuju cahaya keimanan.
Universalisme Islam yang dimaksud adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat (al-Islam salih li kulli zamān wa makān). Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa mereka bangsa yang terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya. Risalah Islam adalah hidayah dan rahmat Allah untuk segenap manusia.4 Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Anbiyā: 107.
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ  
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Demikian pula dalam Q.S. al-Furqān: 1.
x8u$t6s? Ï%©!$# tA¨tR tb$s%öàÿø9$# 4n?tã ¾ÍnÏö6tã tbqä3uÏ9 šúüÏJn=»yèù=Ï9 #·ƒÉtR ÇÊÈ  
Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia).
Universalisme Islam merupakan suatu ajaran yang diterima oleh seluruh umat Islam sebagai akidah. Persoalan universalisme Islam dapat dipahami secara lebih jelas melalui sifat al-waqi’iyyah (berpijak pada kenyataan obyektif manusia). Quraish Shihab (2007:330-331)
 Ajaran universal Islam mengenai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara akan terwujud secara substansial, tanpa menekankan simbol ritual dan tekstual. Ajaran Islam bukanlah agama “baru”, melainkan agama yang sudah dikenal dan dijalankan oleh umat manusia sepanjang zaman, karena sejak semula telah terbit dari fitrahnya sendiri. Islam sebagai agama yang benar, agama yang sejati dan mengutamakan perdamaian. Sebagai agama rahmah li al-‘ālamīn, agama Islam mampu mengakomodasi semua kebudayaan dan perabadan manusia di seluruh dunia.
Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara muslim mayoritas di dunia, namun paling sedikit mendapat pengaruh arabisasi, dibandingkan dengan negaranegara muslim besar lainnya. Dua ciri paling utama dalam kesenian Islam yakni arabesk dan kaligrafi, paling sedikit memengaruhi budaya Indonesia. Selain itu, dalam proses Islamisasi di nusantara, penyebaran agama dan kebudayaan Islam tidak menghilangkan kebudayaan lokal dan tidak menggunakan kekuatan militer dalam upaya proses Islamisasi. Hal itu disebabkan karena proses Islamisasi dilakukan secara damai melalui jalur perdagangan, kesenian, dan perkawinan dan pendidikan.
Islamisasi juga terjadi melalui proses politik, khususnya pada pemikiran politik Soekarno yang membuka lebar bagi golongan Islam untuk mengislamkan negara dengan wilayah pengaruh yang relatif besar. Untuk mengetahui hal itu, harus dipahami dalam konteks budaya Indonesia mengalami dualisme kebudayaan, yaitu antara budaya keraton dan budaya populer di tingkat bawah (masyarakat). Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan dalam kebudayaan tradisional.

C.     Masa depan dan Tren Keislaman Indonesia
Rumusan Baru yang muncul dan telah dikedepankan oleh intelektual muslim belakangan ini adalah ISLAM NUSANTARA (penggerak intelektual muslim Nahdatul Ulama). Sejalan dengan reformasi yang bergulir dan kitapun sebagai masyarakat awam menyaksikan munculnya dan banyaknya organisasi dan gerakan pemikir islam. Dan dari maraknya organisasi ini memunculkan dan memiliki orientasi dan ideologis yang beragam, dari yang moderat, hingga yang radikal sekalipun. Namun kini gagasan-gagasan yang telah dibangun generasi baru intelektual muslim harus berdialog dengan perkembangan baru islam khsusnya di indonesia.
bukan hanya akan memberikan nuansa lain dalam konteks perkembangan islam di indonesia, namun juga menjadikan peta gerakan pemikiran-pemikiran islam harus mengalami revisi. Dengan demikian kaum intelektusl muslim kontemporer dituntut harus merumuskan kembali kajian-kajian keislaman yang dikembangkan. Dalam hal ini mereka tidak hanya harus memperkaya kajian keislaman mereka, misalanya melalui lembaga pendidikan islam, akan tetapi harus sanggup merekonstruksi otoritas keislaman yang telah dianggap sakral.
Menurut abdul aziz dan Imam Thalkhah (2006:11). Para aktivis dan organisasi gerakan pemikir islam di Indonesia hendaknya bergerak dengan menjalankan orientasi bari. Pertama, mencari penyelesaian dalam rangka mengatasi antagonisme diantara komunitas muslim. Kedua, menggunakan aspek fungsional dari ajaran bermazhab. Ketiga, mencari pijakan baru didalam ajaran islam guna menyantuni dan memikirkan masa depan umat islam secara lebih manusiawi. Dengan demikian, dimasa depan gerakan pembaharuan pemikir islam di indonesia sangat mungkin memunculkan para pelaku yang memiliki kesadaran lintas kultural. Pola-pola seperti inilah dapat dipandanga sebagai fenomena berkembangnya proses integrasi antara umat islam.

D.    Akulturasi Budaya dalam Telaah Islam Nusantara
Dalam catatan sejarah tentang siar islam, akulturasi menjadi konsep dasar pembentukan peradaban Islam Nusantara. Konsep akulturasi dimainkan sedemikian rupa oleh para pedagang, yang ketika itu pula berperan sebagai mubaliq (wali) penyiar Islam, sehingga Islam menjadi agama yang mudah diterima penduduk lokal di Nusantara. Yang ketika itu, masih menjalangkan kebudayaan Hindu dan Budha, serta animisme dan dinamisme. Akulturasi, merupakan bentuk modifikasi kebudayaan tampa menghilangkan kebudayaan asli .
Istilah akulturasi atau kulturisasi mempunyai berbagai arti di berbagai para sarjana antropologi. Tetapi, semua sepaham bahwa itu merupakan proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan satu kebudayaan dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing, sehingga dapat diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan asli (Fathoni, 2006 : 30). 
Proses akulturasi ini dimaksudkan untuk mengola kebudayaan asing yang tidak menghilangkan unsure budaya asli hingga bisa diterima oleh penganut kebudayaan tersebut. Sementara itu, Konjaraningrat (1990: 91), mengartikan, akulturasi sebagai suatu kebudayaan dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suatu kebudayaan asing yang demikian berbeda sifatnya, sehingga unsur kebudayaan asing tadi lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan kedalam budaya itu sendiri tampa kehilangan kepribadiaan dan kebudayaanya.
Konsep akulturasi dimanfaatkan oleh para penyiar untuk menyiarkan agama Islam Nusantara. Keberhasilan proses Islamisasi di Nusantara dengan konsep akulturasi ini, memaksa Islam sebagai pendatang, untuk mendapatkan simbol-simbol kultural yang selaras dengan kemampuan penangkapan dan pemahaman masyarakat yang akan dimasukinya dalam pengakuan dunia Islam. Langkah ini merupakan salah satu watak Islam yan pluralistis yang dimiliki semenjak awal kelahirannya
Kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan budaya setempat, memudahkan Islam masuk ke lapisan paling bawah dari masyarakat. Akibatnya, kebudayaan Islam sangat dipengaruhi oleh kebudayaan petani dan kebudayaan pedalaman, sehingga kebudayaan Islam mengalami transformasi bukan saja karena jarak geografis antara Arab dan Indonesia, tetapi juga karena ada jarakjarak kultural. Proses kompromi kebudayaan seperti ini tentu membawa resiko yang tidak sedikit, karena dalam keadaan tertentu seringkali mentoleransi penafsiran yang mugkin agak menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
 Kompromi kebudayaan ini pada akhirnya melahirkan, apa yang di pulau Jawa dikenal sebagai sinkretisme atau Islam Abangan. Islam dalam lintasan sejarah telah menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari budaya Arab, Persi, Turki, India sampai Melayu. Masing-masing dengan karakteristiknya sendiri, tapi sekaligus mencerminkan nilai-nilai ketauhidan sebagai suatu unity sebagai benang merah yang mengikat secara kokoh satu sama lain. Islam sejarah yang beragam tapi satu ini merupakan penerjemahan Islam universal ke dalam realitas kehidupan umat manusia.
Di Indonesia upaya menjaga keramahan Islam terjaga berkat upaya pilar-pilar Islam yang tumbuh dan berkembang dengan baik. Pilar-pilar itu adalah organisasi-organisasi Islam dan pondok pesantren yang sejak kelahirannya hingga sekarang terus berjuang dengan caranya sendiri untuk mewujudkan Islam Nusantara.  Organisasiorganisasi ini memiliki akar jamaah kuat di lapisan masyarakat, yang secara sosiologis berbeda satu sama lain. Di antaranya Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, dan lainnya. Ormas dan ponpes adalah bagian dari peradaban dan kekayaan intelektual Islam Indonesia.
Sementara itu, pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang sudah cukup tua. Selain lembaga pendidikan, pesantren juga disebut sebagai lembaga kebudayaan. Pesantren hingga kini menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Pesantren merupakan ruang bagi para kiai/ ulama untuk mewariskan ilmu pengetahuan, melestarikan ajaran, tradisi, dan pengaruhnya ke masyarakat melalui cara yang sangat khas. Kehadiran ormas dan pesantren, ditambah dengan kekayaan budaya, membuat nilai-nilai Islam masuk melebur menjadi satu kesatuan dan semangat kebangsaan yang kuat.
Melalui khasanah adat istiadatnya, Indonesia mampu menjadi sebuah negeri yang plural, namun tetap menyatukan keragaman budaya dalam ikatan Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila sebagai dasar negara mampu meleburkan sektesekte primordial menjadi semangat kesatuan. Akulturasi Islam dan budaya lokal melahirkan Islam Nusantara yang ideal, berkarakter dan terorganisasi dengan baik. Islam Indonesia bersifat plural, moderat, toleran, dan menebarkan perdamaian bagi semuagolongan. Bisadikatakan, Nusantara merupakan tempat pertemuan dua perspektif Islam. Indonesia yang multikultural menjadi filter dalam masuknya perspektif Islam dari Barat dan Timur Tengah. Dari semua itu patutnya kita sepakat bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang ideal untuk dijadikan muara keislaman di dunia. Maka, dalam hal ini pemerintah dan semua pihak harus mempunyai kepekaan di dalam menebar Islam Nusantara dengan cara-cara kebajikan sekaligus menjunjung tinggi nilai budaya dan tradisi. Menjaga kearifan lokal asli Nusantara merupakan perwujudan sikap nasionalisme kepada negara Indonesia. Dengan perpaduan nasionalisme dan keramahan Islam, Indonesia mampu menggapai puncak kejayaannya.





















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Antara agama (Islam) dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah menurut perubahan waktu dan tempat. Tetapi berbeda dengan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Kebanyakan budaya berdasarkan agama, namun tidak pernah terjadi sebaliknya, agama berdasarkan budaya. Oleh karena itu, agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Ajaran universal Islam mengenai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara akan terwujud secara substansial, tanpa menekankan simbol ritual dan tekstual. Ajaran Islam bukanlah agama “baru”, melainkan agama yang sudah dikenal dan dijalankan oleh umat manusia sepanjang zaman, karena sejak semula telah terbit dari fitrahnya sendiri. Islam sebagai agama yang benar, agama yang sejati dan mengutamakan perdamaian. Sebagai agama rahmah li al-‘ālamīn, agama Islam mampu mengakomodasi semua kebudayaan dan perabadan manusia di seluruh dunia.
Rumusan Baru yang muncul dan telah dikedepankan oleh intelektual muslim belakangan ini adalah ISLAM NUSANTARA (penggerak intelektual muslim Nahdatul Ulama). Sejalan dengan reformasi yang bergulir dan kitapun sebagai masyarakat awam menyaksikan munculnya dan banyaknya organisasi dan gerakan pemikir islam. Dalam catatan sejarah tentang siar islam, akulturasi menjadi konsep dasar pembentukan peradaban Islam Nusantara. Konsep akulturasi dimainkan sedemikian rupa oleh para pedagang, yang ketika itu pula berperan sebagai mubaliq (wali) penyiar Islam, sehingga Islam menjadi agama yang mudah diterima penduduk lokal di Nusantara. Yang ketika itu, masih menjalangkan kebudayaan Hindu dan Budha, serta animisme dan dinamisme. Akulturasi, merupakan bentuk modifikasi kebudayaan tampa menghilangkan kebudayaan asli .

B.     Saran
Kebudayaan Islam di masa lalu mestinya harus tetap dijaga dan di lestarikan, oleh Umat Islam, sehingga kebudayaan Islam itu tidak hilang akbat arus globalisasi dalam masa kekinian. Dan dakwa Islam harus tetap ditegakan di Bumi Indonesia. Selanjutnya penulis berharap dengan makalah ini pembaca dapat memberikan saran dan keritikan untuk perbaikan dan penyempurnaan tulisan singkat ini tentang Islam dan Budaya dalam semangat Islam Nusantara























Daftar Pustaka

Abdul Aziz dan Imam Thalkhah, 2006, Gerakan islam Kontemporer di indonesia Sebuah Kajian Awal, Jakarta: Diva Pustaka

Abdurrahman Wahid, "Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia, Menatap Masa Depan" (P3M, Jakarta cet. I, 1989), 92 

Amin Syukur, 2010, Pengantar Studi Islam, Semarang: Pustaka Nuun.

Departemen Agama Republik Indonesia,2007, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra.

Didiek Ahmad Supadie, dan Sarjuni (ed), 2011, Pengantar Studi Islam.Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Fathoni, Abdurrahmat. 2006. Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Hariwijaya M, 2006,Islam Kejawen, Yogyakarta: Gelombang Pasang

Konjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press.

Kuntowijoyo. 1991.Paridigma Islam. Mizan, cet. III

M. Quraish Shihab, 2007, Membumikan Al-Quran:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. I; Bandung: Mizan.

Rohiman Notowidagdo,1996, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-qur‟an dan hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Said Agil Husin al-Munawar, 2003. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press

Yustion dkk, 1993, Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tugas 3.3.a.10 Aksi Nyata- Pengelolaan Program yang Berdampak Pada Murid

  Tugas 3.3.a.10. Aksi Nyata Pengelolaan Program Yang Berdampak Pada Murid Oleh. Nurwahid CGP Angkatan 4 Kabupaten Melawi Provinsi Kalimanta...